Ensiklopedia

Keterangan ringkas & tepat mengenai pelbagai ilmu!

 

USTAZ DAN USTAZAH ‘PENUNGGANG AGAMA’ – ADAKAH SYURGA TEMPATMU?

Mengupas Isu Ustaz dan Ustazah ‘Penunggang Agama’

Di zaman serba canggih ini, apabila maklumat di hujung jari, kita disajikan dengan pelbagai konten agama di media sosial. Ramai yang bergelar ustaz dan ustazah, tampil dengan pelbagai gaya dan pendekatan. Namun, di sebalik kemudahan ini, timbul satu fenomena yang merisaukan: penunggang agama. Mereka ini bukan sahaja mencalar imej Islam yang indah, tetapi juga memanipulasi kepercayaan umat demi keuntungan duniawi.

Istilah ‘penunggang agama’ merujuk kepada individu yang menggunakan agama sebagai topeng atau alat untuk mencapai matlamat peribadi seperti populariti, kekuasaan, atau kekayaan. Mereka seringkali memutarbelitkan ayat-ayat al-Quran dan Hadis, atau menafsirkan hukum Islam mengikut hawa nafsu dan kepentingan sendiri. Perbuatan ini sangat berbahaya kerana ia bukan sahaja mengelirukan masyarakat awam, malah boleh membawa kepada ajaran sesat dan perpecahan ummah.

Perspektif Islam dan Hukum Syarak

Islam memandang perbuatan menunggang agama sebagai suatu dosa besar yang dilaknat. Ia tergolong dalam kategori “menjual agama dengan harga yang sedikit”, iaitu menukarkan ganjaran akhirat yang kekal dengan kesenangan dunia yang sementara. Firman Allah SWT dalam Surah Hud, ayat 15-16, menegaskan betapa sia-sianya amalan orang yang hanya mencari balasan dunia:

“Sesiapa yang ingin mendapatkan ganjaran duniawi dan perhiasannya, pasti Kami balas hasil usaha mereka di dunia dengan sempurna tanpa sedikit pun ada kekurangan. Merekalah orang yang tidak ada balasan pada hari akhirat kelak selain daripada api neraka. Dan apa sahaja yang mereka usahakan di dunia menjadi sia-sia dan terbatallah apa yang telah mereka kerjakan.” (Surah Hud: 15-16)2

Imam al-Ghazali, seorang ulama besar yang terkenal, pernah membincangkan isu ini dalam karyanya. Beliau menyentuh tentang ulama su’ (ulama yang jahat), yang menggunakan ilmu agama untuk mendapatkan kedudukan dan harta. Beliau mengingatkan bahawa ilmu sepatutnya mendekatkan seseorang kepada Allah, bukan kepada hal-hal dunia.

Tanda-tanda Bahaya dan Realiti Semasa

Bagaimana kita mengenal pasti ‘ustaz’ atau ‘ustazah’ yang menunggang agama? Antara tanda-tanda yang perlu kita waspadai termasuklah:

  1. Menggunakan emosi dan retorika manipulatif. Mereka seringkali bermain dengan perasaan pengikut, menanamkan rasa takut, cemas atau terlalu berharap kepada perkara-perkara ghaib.
  2. Menyalahgunakan gelaran dan kedudukan. Seringkali mendakwa diri sebagai ‘ahli’ atau ‘waris nabi’ tanpa bukti yang sahih, semata-mata untuk mendapat kepercayaan dan kekuasaan.
  3. Meminta ganjaran dunia secara melampau. Meskipun memberi hadiah kepada guru agama itu sunnah, namun jika individu tersebut menjadikan ia syarat, atau mengeksploitasi pengikutnya untuk mengumpul harta secara haram, itu adalah petunjuk yang jelas.
  4. Menyebar kebencian dan perpecahan. Agama Islam adalah agama kasih sayang. Jika seseorang menggunakan mimbar untuk melabel, memaki, atau memecahbelahkan masyarakat atas nama agama, ia bercanggah dengan prinsip Islam itu sendiri.

Di Malaysia, kita telah melihat beberapa kes yang tular melibatkan individu yang mendakwa diri mempunyai kebolehan luar biasa atau menjual produk dengan janji-janji palsu, semuanya atas nama agama. Ini adalah bukti nyata bagaimana agama disalahgunakan untuk menipu dan mengaut keuntungan.

Melawan Penipuan, Mempertahankan Keindahan Islam

Perbuatan penunggang agama bukan sahaja mencemarkan nama baik Islam, tetapi juga merosakkan aqidah umat. Islam mengajar kita untuk mencari ilmu daripada sumber yang sahih, iaitu Al-Quran dan Hadis, serta merujuk kepada para ulama yang muktabar dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam.

Sebagai umat Islam yang bijaksana, kita harus bersikap kritis dan tidak mudah terpedaya dengan retorika manis atau janji-janji kosong. Mari kita kembali kepada ajaran Islam yang sebenar, yang menekankan keikhlasan, akhlak mulia, dan integriti. Kerana agama Islam itu adalah petunjuk, bukan tunggangan.

Sumber artikel: Malaysia Aktif , Sinar Harian /waktusolat.digital

Written by Admin
Category: Gaya Hidup
Hits: 212

 

BELAJAR DENGAN “ORANG GILA”

SEBAGAI makhluk yang dianugerahkan kecerdasan, manusia berusaha menjadi pintar. Pada umumnya, upaya yang dilakukan dengan cara belajar dengan pemilik ilmu (ulama). Upaya ini menjadi langkah formal untuk menjadi pintar. Namun, berbeda dengan upaya yang dilakukan Abu Nawas. Ia justeru belajar dengan seorang gila yang ada di pasar Baghdad. Sosok orang tua berpakaian lusuh dan compang-camping yang diteriaki penduduk sebagai orang gila.

Sosok tersebut adalah Syaikh Kamaluddin. Ia adalah mantan penasihat khalifah yang cerdas dan jujur. Namun, karakternya yang jujur dan berilmu luas, membuatnya dibenci dan dimusuhi oleh para menteri yang ada disekitar khalifah. Untuk itu, ia difitnah oleh "para pembisik" sekitar kekuasaan yang tak senang pada kecerdasan dan kejujurannya. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan khalifah agar ia disingkirkan. Akhirnya, khalifah terpengaruh dengan fitnah yang ditujukan padanya dan mengusirnya dari istana. Nasib pemilik kejujuran sepanjang masa.

Menyadari dirinya yang dibenci oleh seisi istana dan diusir khalifah, maka Syaikh Kamaluddin memilih menjadi "orang gila". Cara ini dilakukan agar ia tetap bebas menyampaikan pesan kebenaran tanpa perlu berpura-pura. Ia tinggalkan semua status yang dimiliki dan ikhlas dianggap "orang gila" agar memperoleh ruang ke-bebasan berfikir, mempertajam rasa batin, dan bebas berpendapat tanpa ada yang murka atau tersinggung.

Ketika Abu Nawas mengutarakan niatnya untuk berguru, si "orang gila" tersebut tersenyum dan setuju untuk menerimanya sebagai murid. Tapi, si "guru gila" mengaju-kan persyaratan dan meminta agar Abu Nawas terlebih dulu "meninggalkan akal sehat di sungai dan membawa kesucian hati untuk menemukan kebenaran". Sebab, akal sehat tak lagi diperlukan oleh pen-duduk dunia saat itu (ini). Sebab, akal sehat dan kejujuran hanya dianggap batu penghalang bagi manusia culas meraih keinginan dan keserakahan. Prilaku yang menghantarkannya "membeli pakaian dan selimut" yang terbuat dari api neraka.

Ada beberapa pelajaran yang diajarkan "guru gila" tersebut kepada Abu Nawas, antara lain :

Pertama, Makan tanpa makan. Makan tanpa memperturut nafsu, makan tanpa sesuatu yang haram (zat dan sifat), makan penuh kesyukuran, makan tanpa mubazir, serta makan sesuai keperluan tubuh dan  haknya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah : 168).

Melalui ayat di atas, Allah mengingatkan agar manusia bijak memilih dan memakan makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi tubuh dan akal pikirannya. Sebab, se-tiap makanan sangat berpengaruh atas kualitas dan wujud prilaku manusia. Bila makan yang halal dan bergizi (thoyyib), maka akan baik totalitas dirinya. Demikian pula sebaliknya.

Kedua, Tidur tanpa tidur. Tidur tanpa pernah melupakan Allah. Hadir kedamaian tanpa perlu disibukan urusan dunia yang penuh kemunafikan dan membuat lupa dengan Allah.

Manusia yang tidur tanpa tidur merupakan hamba yang matanya terpejam, tapi hati-nya terus terjaga mengingat Allah. Hal ini sesuai firman-Nya :"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya..." (QS. az-Zumar : 42).

Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menjelaskan mengenai kondisi jiwa waktu tidur. Jiwa yang dilepaskan hanya dimatikan perasaannya saja, tetapi ia masih hidup. Namun, jiwa hamba pilihan selalu bertasybih mengagungkan-Nya. Hal ini berbeda tidurnya orang awam.

Ketiga, Berbicara tanpa kata. Berbicaralah dengan diri atas semua yang dilakukan. Dengarkan dan biarkan kata hati dan akal sehatmu yang berbicara kebenaran. Dengarkan secara seksama karena Allah akan menghadirkan inti kebenaran. Untuk itu, jangan bicara karena nafsu lidahmu yang terdorong informasi yang didengar (telinga) dan dilihat (mata). Sebab, setiap pendengaran dan penglihatan hanya terobsesi berita negatif (hinaan) orang lain dan bangga atas sanjungan kemuliaan diri sendiri. Tipe manusia yang demikian akan menutup cahaya kebenaran dan hanya membuka mata kesombongan. Seakan, kebenaran adalah miliknya dan kesalahan tertimpa pada orang lain.

Berkata tanpa kata mengajarkan belajar mendengar kata hati dan bijak mengguna-kannya agar tak menyinggung orang lain. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : "Barang-siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Meski hadis di atas begitu jelas, tapi acap-kali tak dipedomani. "Jualan kata" manis tersusun rapi. Padahal, isinya kumpulan racun yang mematikan. Apatahlagi di era digital. Media sosial seakan ruang menum-pahkan kekesalan dan kata yang tak perlu disampaikan. Bagai kaum terkebelakang yang berkata tanpa disaring pikiran bijak.

Keempat, Lepaskan status duniawi yang melekat dan matikan ego (kesombongan diri). Hadirkan diri sebagai hamba-Nya dan sebarkan kebermanfaatan bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil 'aalamiin).

Sungguh, status sosial mampu menjadi-kan manusia dipuja tanpa cela. Ketika dipuja, semua merapat dan tunduk tanpa berani mengoreksi. Kekeliruan dianggap kewajaran dan bila melakukan kesalahan akan dicari "kambing hitamnya". Semua dilakukan agar dinilai mulia dan dipuja.

Kelima, Menang tanpa bertarung dan mempermalukan musuh tanpa menyakiti. Kombinasikan pujian dan cobaan untuk menyadarkan. Demikian tanda pemilik kualitas ilmu sebenarnya. Berbeda pemilik karakter barbar. Menang dengan cara culas (politik belah bambu). Untaian pujian untuk meraih perhatian (posisi) dan fitnah untuk menyebar kebencian. Bila kemenang-an mampu diraih, maka terlihat watak asli yang selama ini ditutupi. Posisi yang diraih dijadikan kesempatan untuk menindas dan menyakiti. Karakter manusia yang demiki-an pertanda tak memiliki kemampuan.

Keenam, Melihat tanpa melihat (mata tertutup). Lihat dengan akal dan mata hati yang suci, bukan dengan mata zahir yang penuh kebencian dan kemunafikan. Deng-an demikian, akan terlihat nilai kebenaran dan keikhlasan tanpa terpengaruh oleh fenomena dunia nyata yang penuh kemunafikan dan ketidakjujuran.

Kualitas manusia dapat dilihat keterkaitan mata, hati, akal, telinga, rasa, dan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika kesemua potensi ini bersinergi secara obyektif dan benar, maka kebenaran akan diperoleh. Tak ada ruang bagi nafsu mempengaruhi-nya. Tapi, bila elemen potensi tersebut "dikebiri" dan dimatikan, maka kebenaran menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran. Tergantung kepentingan apa yang mendominasi keinginannya.

Sungguh, "guru gila" yang mengajarkan Abu Nawas makna kebenaran. Pengajaran yang mampu merubah karakter dirinya. Ia bahkan mampu menyadarkan Harun ar-Rasyid atas kesalahannya. Khalifah sadar bahwa ia selama ini hanya dikelilingi manusia penjilat, mementingkan diri, dan cari muka. Ia menyesal telah menyingkir-kan penasehat yang menjadi guru untuk menuntunnya ke surga. Namun, khalifah Harun ar-Rasyid adalah sosok khalifah (penguasa) yang mau diberi nasehat dan menerima masukan yang diberikan. Sementara, masih tersisa "para khalifah" yang justeru tak berilmu dan tak mau menerima nasehat. Ia hanya mendengar-kan "kata penjilat" yang sengaja dipelihara dan dijaga untuk memenuhi "keperluan" khalifah daripada mendengar nasehat "malaikat", apatahlagi kata kebenaran yang berasal --dianggap-- dari lawan. Sebab, hanya katanya sebagai hukum, meski secara nyata melanggar aturan.

Pilihan menempatkan pembantu dan pem-bisik (negatif) berangkat beberapa alasan, antara lain : (1) sosok yang sesuai karakter si pemilih. Bila pemilih berkualitas emas, maka ia akan memilih emas. Tapi, bila ia berkualitas besi tua, maka ia akan memilih besi tua. (2) penilaian keliru karena ketidak-tahuan dan "bisikan" (info) subyektif yang diperoleh pemilih atas sosok yang dipilih. (3) keterpaksaan pemilih atas "titipan"  sosok yang dipilih (meski tak mampu).

Kesalahan yang terjadi semakin brutal bila si pemilih "terkerangkeng" oleh mekanisme proses posisi yang diraih sebelumnya.

Ternyata, begitu malang dan menyedihkan nasib si pemilik kecerdasan dan kejujuran (sang penjaga kebenaran). Bahkan, meski Rasulullah begitu sempurna dan sahabat pilihan (khalifah ar-Rasyidin), namun menyi-sakan selalu hadir manusia (kafir Quraisy) yang memfitnah dan membencinya. Mereka dianggap sebagai sandungan bagi keserakahan peradaban duniawi yang penuh tipu muslihat dan kemunafikan.

Setidaknya, dunia ini menghadirkan 4 (empat) kategori manusia, yaitu : (1) orang gila (gangguan jiwa) yang leluasa berkata dan berprilaku tanpa pernah bisa disalah-kan. (2) orang cerdas dan berhati nurani suci untuk menjelaskan kebenaran. Tapi, ia akan dibenci dan dikucilkan. Meski penduduk bumi tak menghargai, tapi penduduk langit memuliakannya. (3) orang berakal tanpa hati nurani yang membiar-kan lidahnya tergigit dan kebenaran terkunci rapat. Tarian lidahnya hanya untaian pujian meski kezaliman dan derita begitu nyata dipelupuk mata. Hadirnya hanya meraih posisi meski tanpa aksi. (4) orang bodoh tanpa hati nurani hanya membeo memuja atasan tanpa pernah mengerti. Tujuannya hanya mengejar pundi, tanpa peduli banyak yang dizalimi.

Manusia kategori ke-1 secara sunnatullah terpental dari peradaban. Sedangkan kate-gori ke-2 acapkali terbuang dari peradaban barbar. Ia hanya dihargai pada peradaban tinggi (high civilization). Sebab, ia bagai cahaya matahari yang menyinari bumi. Sinarnya mampu menerangi kegelapan, menuntun jalan kebenaran, dan ditakuti "komunitas vampir" sang penghisap darah. Sementara, bagi kategori ke-3 dan ke-4 selalu berpeluang memperoleh semua yang diinginkan, dimuliakan, dan disanjung oleh pemilik peradaban rendahan (low civilization). Manusia yang demikian begitu menyenangi "kegelapan" agar gerak-gerik nistanya tak terdeteksi dan bebas melaku-kan apa yang diinginkan.

Berangkat kategori di atas, ternyata hanya menjadi "orang gila" ala Syaikh Kamaludin, harga dirinya mampu dipertahankan dan terhindar permainan dunia yang penuh sandiwara. Sementara, tersisa manusia "bertopeng" keshalehan untuk menutupi kesalahan. Mereka tampil anggun dengan menikmati berbagai fasilitas. Pilihan berkarakter munafik atau ter-paksa tampil munafik karena tuntutan "zamane wong edan, yen ora edan yo ora keduman" (zamannya orang gila. Bila tidak gila tak kebagian)Sebab, bila hanya menjadi manusia cerdas dan idealis, maka ia akan dibenci dan disingkirkan. Hanya manusia tanpa harga diri (munafik) atau pemilik kebodohan tapi pintar "menjilat" yang akan menang dalam pertarungan status sosial akhir zaman. Begitu naif pilihan manusia akhir zaman, "lidah basah menguntai kata suci berharap surga, tapi akal dan hati, serta prilaku justru selalu mengharap neraka (murka-Nya) belaka. Mereka selalu berkata lantang agar katanya didengar orang, tanpa pernah mau mendengar kata hatinya. Atau mungkin hatinya telah bisu dan beku. Akibatnya, hati menjadi kotor dan jauh dari kebenaran-Nya. Pada waktu-nya, "yen becik mesti ketitik, yen olo bakal ketoro(perbuatan baik akan ketahuan, perbuatan buruk akan terungkap). Begitu janji Allah dalam al-Quran (QS. az-Zumar : 53). 

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis

Sumber: alfalahmadani.my

 
Written by Admin
Category: Gaya Hidup
Hits: 307

 

CARA TANGANI KETAGIHAN TIKTOK

Oleh Nazrina Mohamad Nazry

TikTok bukan lagi nama asing bagi rakyat digital di Malaysia. Umum mengetahui bahawa aplikasi ini telah mendominasi kehidupan pelajar-pelajar sekolah di negara kita, dengan pantas menjadi lebih daripada satu platform untuk tren menari dan cabaran-cabaran yang kononnya viral, yang kononnya terkini. Pada tahun 2023, dilaporkan TikTok di Malaysia mempunyai seramai 14 juta pengguna dan kebanyakannya adalah anak remaja kita, generasi masa depan negara.

Ini dapat disimpulkan bahawa pengaruh platform ini telah menguasai minda anak-anak muda yang kita kasihi. Walaupun aplikasi ini memberi ruang kepada kita untuk berkarya kreatif, meluahkan idea dan perasaan sendiri, ataupun menghasilkan kandungan pendidikan, ia juga tidak lari daripada isu-isu berkait rapat dengan kesejahteraan digital, fokus akademik dan juga literasi media atau digital.

Pada dua tahun lepas juga, tahun 2023, satu kajian mengenai penggunaan media sosial di kalangan pengguna muda telah dijalankan oleh Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia atau Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC). Salah satu dapatan kajian ini menunjukkan 42.7% pengguna Internet adalah yang berusia sekitar 10–17 tahun, iaitu anak-anak muda kita di mana mereka melayari media sosial setiap hari. Di samping itu, kajian MCMC ini mendedahkan bahawa TikTok merupakan platform yang paling kerap dikunjungi, selain Facebook, Instagram, dan WhatsApp.

Tidak dinafikan, algoritma atau set arahan komputer bagi aplikasi ini, yang terkenal dengan pemaparan kandungan yang ketagih dan bersifat peribadi yang tinggi, menyebabkan anak-anak muda kita senang terlupa, leka dengan pergerakan masa. Natijahnya, kesan ketagihan ini dilihat memberi impak yang signifikan kepada pembelajaran dan juga kualiti tidur anak-anak yang masih bersekolah.

Walaubagaimanapun, bukanlah setiap keterlibatan dengan TikTok itu negatif atau merosakkan. Sekiranya diaplikasikan dengan baik dan teratur, platform ini menghidangkan banyak peluang pembelajaran kepada anak-anak, malahan kepada para pendidik.

Contohnya, sesetengah guru dan pelajar di Malaysia telah mula menghasilkan video-video pendek yang menerangkan konsep STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics atau Sains, Teknologi, Kejuruteraan dan Matematik), video-video yang berfokuskan kepada topik-topik dalam peperiksaan besar seperti Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) dan video-video refleksi berkenaan pengalaman pembelajaran dalam sesuatu bilik darjah. TikTok, dengan sifatnya yang membenarkan penghasilan video ringkas, amat sesuai digunakan dalam pendekatan pembelajaran mikro. Penyampaian maklumat yang ringkas lagi pantas ini memudahkan sesuatu kandungan itu difahami dengan lebih baik dan berkesan.

Profesor Dr Sameer Hinduja dari Florida Atlantic University, yang merupakan Pengarah Bersama, Pusat Penyelidikan Buli Siber, menekankan betapa pentingnya keterlibatan manusia dalam dunia digital secara kritikal. Berikut merupakan sedikit ringkasan bicara beliau dalam versi Bahasa Inggeris berkenaan TikTok: “It’s not about banning platforms like TikTok, but about teaching youth how to use them responsibly – to consume, create, and critique content effectively.”

Jelaslah di sini, idea dan strategi ini selari dengan agenda Malaysia yang diterjemahkan dalam Dasar Pendidikan Digital (2021–2025), untuk mempromosi dan melahirkan rakyat digital yang kreatif, literasi media yang bersepadu dan penggunaan teknologi yang bertanggungjawab di sekolah-sekolah di negara kita.

Sudah tentulah, ibu bapa dan para guru mempunyai idea dan perasaan yang bercampur baur apabila membincangkan perkara atau aktiviti digital yang menjadi ikutan ramai ini. Ada yang berkata, “Eh, TikTok bagus! Anak-anak yang pemalu boleh bersuara di situ”, ada pula yang melahirkan kebimbangan di mana anak-anak terlalu dekat dengan kandungan digital yang tidak sesuai atau terdedah kepada buli siber.

Merujuk kepada laporan daripada UNICEF Malaysia 2023 (United Nations Children’s Fund atau Tabung Kanak-kanak Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu), satu daripada lima pelajar sekolah terdedah kepada bahaya atas talian, termasuklah gangguan dan pendedahan kepada maklumat yang tidak betul, kebanyakannya bersumberkan platform seperti TikTok.

Justeru, apa yang kita boleh dan perlu lakukan?

Pertama, literasi digital atau maksudnya keupayaan mencari, menapis, menilai dan mengurus maklumat kandungan digital, haruslah diketengahkan dalam kurikulum kebangsaan — bukan setakat sebagai subjek, malah pelaksanaannya merentasi semua disiplin yang ada. Mendidik para pelajar untuk mengenal pasti sumber sahih, mengurus waktu layar dengan teliti dan memahami privasi siber boleh membantu mereka dalam penggunaan TikTok dan juga ruang siber yang lebih besar, melayarinya dengan selamat dan pintar.

Seterusnya, pendidik dan pentadbir di sekolah boleh mengintegrasikan penghasilan video TikTok dengan pentaksiran. Misalnya, ia boleh dijadikan sebagai aktiviti dalam pembelajaran berasaskan projek. Apabila pelajar-pelajar didedahkan kepada penghasilan kandungan media yang bermakna dan berkait rapat dengan apa yang dipelajari di sekolah, usaha ini dapat mengubah mereka daripada pengguna pasif kepada pencipta bahan digital yang aktif dan beretika.

Yang terakhir, tidak dilupakan, panduan dan bantuan daripada ibu bapa di rumah atau di mana sahaja sangatlah penting dalam menyelesaikan isu ini. Walaupun ibu bapa berhak mewujudkan larangan digital yang jelas dan berterusan, tetapi sebenarnya mengajak anak untuk bersembang mengenai tabiat di ruang siber dilihat sebagai pendekatan yang lebih efektif dan bermakna. Mungkin juga, ibu bapa boleh meluangkan masa untuk menonton bersama kandungan digital supaya kita dapat memahami lebih baik dunia mereka dalam ruang siber ini.

Sebagai penghias bicara akhir, TikTok bukanlah boleh disimpulkan sebagai baik atau buruk. Seperti teknologi yang lain, yang kita pernah gunakan sebelum ini, nilai asalnya terletak kepada bagaimana kita menggunakan aplikasi ini dalam kehidupan seharian.

Apabila kita melengkapkan anak-anak di sekolah dengan pemikiran dan kemahiran yang betul, sebenarnya kita boleh bergerak seiring dengan transformasi teknologi digital, selari dengan Dasar Pendidikan Digital, mengubah gangguan yang wujud dalam dunia siber kepada satu alat yang selamat dan kukuh untuk ekspresi, pembelajaran dan perkembangan digital anak-anak muda kita, modal insan negara kita.

*Dr Nor Nazrina Mohamad Nazry ialah Pensyarah Kanan di Jabatan Kurikulum dan Teknologi Pengajaran, Fakulti Pendidikan, Universiti Malaya, dan boleh dihubungi di This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

(Artikel ini merupakan pendapat peribadi penulis semata-mata dan tidak mewakili BebasNews.)

Sumber: bebasnews.my

Written by Admin
Category: Gaya Hidup
Hits: 235

 

MITOS "TANAH YANG DIJANJIKAN"

Zionis kini sedang memutarkan semula mitos "Tanah Yang Dijanjikan" buat mereka, setelah hampir berjaya menjarah bumi Palestin. Kini, mereka mendendangkan hal yang sama ke atas tanah Cyprus, tanah itu telah dijanjikan oleh Tuhan 3,500 tahun silam.

Sebelumnya, kita hanya mendengar bahawa Palestin adalah "Tanah Yang Dijanjikan" oleh Tuhan untuk orang-orang Yahudi yang hidup dalam kesusahan dan penderitaan di bawah pemerintahan dinasti Fira'un di Mesir.

Sejarahnya, memang ada maksud tersebut tetapi "Tanah Yang Dijanjikan" itu, khususnya Palestin telah ditarik balik kerana umat Yahudi sendiri enggan ke sana. Dalam sejarah tercatat kisah itu, dan dalam kitab-kitab agama ada cerita tersebut.

Mereka hanya bergerak dari Mesir, tetapi tidak meneruskan perjalanan ke Palestin kerana memikirkan bumi Palestin tidak mempunyai daya penarik ekonomi yang besar. Mereka hanya berlegar-legar sekitar padang pasir untuk beberapa lama sehinggalah ke era yang lain beberapa ratus tahun kemudian.

Namun, Zionis terus memainkan mitos yang sama ke atas Cyprus setelah sebahagian kecil keturunannya mula menguasai dan membentuk koloni di pulau yang berada di Laut Mediteranean.

Sekarang ini, mereka sedang giat mencari hujah. Mereka sedang mereka-rekakan rumusan berdasarkan bukti palsu, termasuk mentafsirkan semula kisah di zaman Nabi Yusof AS dan selepasnya.

Tautan "sejarah" dan "agama" telah, sedang dan akan terus digunakan semaksimum yang mungkin. Soal benar atau salah, tidak mereka pedulikan.

Setelah itu, mereka akan terus menggunakan mitos itu ke atas mana-mana negara yang sekarang ini berada dalam majoriti umat Islam. Ia adalah sebagai langkah seterusnya untuk membina The greater Israel, dari sungai Tigris dan Euphrates.

Irak sudah ada petunjuk akan jadi milik mereka, yang kini dikuasai dan dikawal oleh tentera Amerika Syarikat. Iran sedang mereka ganyang dan mendapat bantuan Amerika Syarikat. Mesir sudah mereka pengaruhi setelah termeterainya Perjanjian Kem David (1978).

Syria sedang mereka perkirakan dengan teliti setelah Amerika Syarikat membatalkan doktrin untuk para pejuang Pembebasan Syria tidak lagi termasuk dalam senarai pengganas. Amerika Syarikat telah membatalkan sekatan ke atasnya, apabila pejuang pembebasan Syria berjaya menggulingkan diktator Bashar al-Assad, bersedia berbincang dan membuka kerjasama dengan Israel. Netanyahu dan Ahmed al-Shaara sudah pun memulakan pertemuan.

Libya sudah kehilangan taring setelah Muammar Gadafi berjaya dibunuh (20 Oktober 2011). Tentera Amerika Syarikat sentiasa memerhatikan perkembangan yang berlaku di Libya, kerana Libya mempunyai simpanan minyak yang besar, yang boleh disalurkan kepada Israel yang sangat memerlukannya.

Israel tidak menjadi negara pembeli minyak Arab Saudi, Iran dan sebagainya. Negara-negara Arab menjadikan Israel sebagai sekatan untuk menjual minyak, semacam embargo. Israel ketika ini mendapat bekalan minyak dan gas daripada Azerbaijan. Irak mungkin secara sulit menjual minyak kepada Israel kerana telaga minyak telah dikuasai oleh firma asing termasuk milik usahawan Amerika Syarikat.

Negara-negara Arab sudah kendur marahnya kepada Israel setelah Amerika Syarikat berjaya melaksanakan normalisasi dalam Abraham Accord (2020). Arab Saudi memang diketahui pro Amerika Syarikat dan tidak berani turun ke gelanggang membantu perjuangan rakyat Palestin menuntut kebebasan dan kemerdekaan. Sebaliknya, Arab Saudi terus berlumba untuk menambahkan kemakmuran ekonominya dengan membuka pusat-pusat pelancongan ala barat di persisir Laut Merah.

Israel gunakan agama, kerana menjual agama cukup mudah mendapat pembeli. Jika tidak menjual agama, tentunya Palestin tidak dapat mereka kuasai. Sebelum Palestin, beberapa cadangan untuk Negara Yahudi telah dibuat, termasuk Uganda dan Argentina. Semuanya ditolak, sebabnya tidak ada hubungan dengan agama Yahudi.

Pengamal Judaisme tidak bersetuju apabila Theodore Herzyl bersetuju Palestin adalah lokasi terbaik. Namun, setelah agama digunakan, Palestin dieksploitasikan sebagai tindakan untuk bersiap sedia menunggu kedatangan messiah, yakni Imam Mahadi.

Walaupun bukan semua rabi Yahudi bersetuju, akhirnya sebahagian besar mereka menjadi cukup kuat untuk melakukannya, dan sanggup menjadi "pembohong" demi menyempurnakan matlamat Zionis.

Ketika seorang dua Rabi Yahudi membuat tuntutan sejarah terhadap Cyprus, belum kedengaran bahawa mereka juga memiliki hujah yang sama dengan apa yang mereka lakukan ke atas Palestin. Sebabnya, di Cyprus tidak ada Bukit Zion, Kuil King Solomon, tetapi mereka sudah membina sinagog, menguasai perniagaan produk dan barangan Israel. Koloninya semakin membesar sehingga elit politik Cyprus semakin bimbang.

Kata pemimpin Cyprus, Zionis mengambil peluang ketika rakyat Cyprus "sedang tidur", mereka membina lambang-lambang dan mercutanda baharu untuk menggambarkan kekuatan Zionis. Mereka ada wang untuk membeli tanah dan mereka ada akal untuk memujuk penduduk menjualnya.

Tentunya, mereka akan menolak apa sahaja hujah sejarah yang bertentangan dengan mitos yang mereka bentuk dan akan dibentuk sebagai "line of propaganda". Mereka akan gelarkan sesiapa sahaja yang menentang hasrat itu sebagai anti-semitik, walhal pada kajian DNA warganegara Israel sekarang, 90 peratus tiada hubungannya (genetik) dengan Yahudi asal Palestin. (tbc)

Bersambung

MONOSIN SOBRI

Written by Admin
Category: Gaya Hidup
Hits: 325

 

‘SI RAJA DAN HUKUM RIMBA’

Oleh: Samsul Nizar

Secara umum, rimba atau jenggala berarti hamparan hutan lebat yang masih terjaga keasrian seluruh unsur flora dan faunanya. Kata rimba selalu disandingkan dengan kata "hutan". Penggabungan kata "hutan rimba" mengandung 2 (dua) makna, yaitu : (1) deskripsi biologis (fenomena) dimaknai hutan lebat. (2) arti majazi (metafora) sebagai simbol kebrutalan yang dilakukan tanpa aturan.

Bagi penganut hukum rimba, pemilik kekuatan akan berkuasa dan semua yang lemah menjadi mangsa. Dasar ini menghantarkan singa dan harimau (kuat dan lincah) dijuluki "si raja rimba". Baginya, kekuatan dan "keberingasan" yang dimiliki menjadi modal utama agar ditakuti, semena-mena, dan bebas memangsa hewan lainnya. Ia tak pernah berfikir untuk melindungi, tapi hanya berfikir bagaimana bisa kenyang dan leluasa "menyantap" semua yang ada.

Sebagai "raja rimba", singa dan harimau tak memiliki kepedulian atas keselamatan hutan dari perambah liar. Ia hanya berfikir apa yang bisa dimakan dan dinikmati tanpa peduli apa yang akan menimpa kelestarian hutan pada masa akan datang. Julukan"si raja rimba" hanya untuk ditakuti, bukan disegani untuk melindungi. Sebab, ia hanya menggunakan "kekuatan" untuk menindas dan menguasai, bukan mentaati aturan yang berkeadilan. Eksistesinya hanya sebatas menjual keberingasan dan menyebarkan rasa takut belaka, tapi tak pernah memberi manfaat seisi rimba. Ia hanya berpikir singkat sebatas perut (nafsu) dan keturunannya.

Si raja rimba angkuh dengan "titelnya" tanpa pernah mau berkerjasama dengan seisi rimba lainnya. Ia menganggap dirinya hebat dengan kekuatannya dan tak memerlukan bantuan. Si raja rimba hanya ditakuti dan ditinggalkan sendiri. Akibatnya, ia tak mampu menjaga rimba dari eksploitasi manusia yang menguras habis seisi hutan.

Demikian tabiat singa atau harimau si raja rimba. Hanya mengandalkan "kekuatan" dan belangnya. Namun, ia tak pernah sadar bahwa apa yang dilakukan akan merugikan diri dan seisi hutan. Sementara apa yang dilakukan manusia serakah yang mengeksploitasi seisi rimba ternyata melebihi kerakusan si raja rimba.

Fenomena rimba ternyata menampilkan sejuta pelajaran. Di antara pelajaran yang bisa dipetik antara lain :

Pertama, Rimba menghadirkan keaneka-ragaman makhluk. Menyediakan supply oksigen dan makanan yang menyehatkan. Rimba yang belum rusak senantiasa melindungi semua habitat yang ada. Namun, eksistensi rimba di era modern mengalami kerusakan yang parah. Keanekaragaman hayati semakin rusak dan terancam punah. Rimba menjanjikan kebaikan bila ia dirawat. Tapi, seisi rimba akan murka bila dikhianati oleh manusia yang "merampok" rimba secara brutal. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Telah tampak kesusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. ar-Ruum : 41).

Sungguh, kehidupan kalanya hidup bak "di alam rimba". Perlu kesadaran atas keter-batasan dan perlunya bantuan sesama untuk menjaga "hutan". Hanya melalui kerja sama dan saling menghargai, "hutan kehidupan" akan memberi manfaat bagi bangunan peradaban (rahmat lil 'alamin).

Kedua, Rimba berkonotasi hukum yang berdasarkan kekuatan (kuasa). Ketika Singa dikenal sebagai si raja rimba atas "kekuatan beringas" mematikan, maka seluruh komunitas penghuni rimba akan tunduk padanya. Gelar singa sebagai "si raja rimba" bukan diangkat secara demokrasi, aklamasi, atau "pundi-pundi". Posisinya sebagai "si raja rimba" disebab-kan "kekuatan beringas" yang dimiliki. Bila berdasarjan kekuatan, maka gajah lebih kuat. Tapi bila sifat licik, kuat, kejam, dan beringas, maka singa yang memilikinya. Karena rimba berisi kumpulan hewan, maka sebutan "hukum rimba" hanya dimiliki dan dianut oleh komunitas hewan. Mereka hanya kenal "aturan memangsa", tanpa mengenal aturan yang mampu melindungi. Pemenuhan nafsu pribadi dan komunitas menjadi sandaran utama. Halal dan haram tak lagi diikuti, jujur dan khianat tak lagi dipeduli, serta ajaran agama dan hukum tak lagi dipedomani.

Meski istilah "hukum rimba" berlaku di dunia hewan yang hidup di alam rimba, kata ini biasa digunakan pada peradaban nyata. Hukum rimba merupakan ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan prilaku negatif yang hanya dilakukan oleh kumpulan hewan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukum rimba adalah hukum yang menyatakan siapa yang menang atau yang kuat, dialah yang berkuasa. Istilah ini diambil dari kondisi nyata yang terjadi di hutan. Istilah ini biasa muncul dalam dunia pekerjaan, politik, penegakan hukum, maupun kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu, leluhur menggunakan kata "hukum rimba" untuk mencitrakan ciri komunitas manusia yang menggunakan "aji mumpung" kuat, berkuasa, kaya, status, atau varian lainnya untuk menguasai sebagian atau semua unsur dan sistem dalam masyarakat secara sewenang-wenang.

Meski hukum rimba lebih dominan dikonotasikan pada kekuatan beringas si raja hutan dan diikuti oleh variannya, tapi hukum rimba juga dikonotasikan kelicikan, kemunafikan, atau varian sifat negatif lainnya. Pemaknaan hukum rimba sebagai prilaku "menghalalkan segala cara" dengan melanggar aturan dan adab yang ada. Apa-lagi bila si raja rimba memiliki sifat monyet yang egois, angkuh, sombong, iri, licik, dan serakah. Hewan ini mempunyai rasa bersaing yang hebat. Namun, sifat ini membuatnya amat mahir menyembunyi-kan perilaku aslinya dan menampilkan tindakan munafik. Sifat dan prilaku seakan penurut tapi menyimpan sifat kelicikan, seakan sosok yang baik tapi menyimpan kejahatan yang keji, seakan memaafkan tapi menyimpan dendam kesumat, seakan pendiam bila di depan tapi biang keributan bila di belakang, atau varian sifat lainnya. Semua dilakukan seakan hukum hanya berlaku untuk di luar dirinya, tapi bagi dirinya semuanya diperbolehkan. Hal ini terkadang terlihat pada perilaku manusia. Tampil seakan penurut dan berbudi bila berhadapan dengan sesama atau atasannya, tapi sebenarnya ia sosok pemberontak dan nista bila dibelakang. Bila singa berani menunjukkan keberingasannya meski ketika sendiri, namun berbeda dengan sifat monyet yang takut bila sendiri dan sangat berani bila berada di tengah komunitasnya.

Ketiga, Di hutan rimba terdapat berbagai jenis dan ukuran kayu. Dari sekian banyak kayu, manusia selalu memilih kayu yang lurus dan besar untuk ditebang. Sebalik-nya, kayu yang bengkok selalu dibiarkan dan terus berkembang. Fenomena ini menjelaskan sifat segelintir manusia dalam kehidupan modern. Ia akan memusuhi pemilik kejujuran dan amanah untuk "dimusnahkan". Anehnya, terhadap manusia yang khianat, zalim, dan melang-gar aturan justeru diberi ruang tumbuh subur "berakar tunggang". Padahal, Allah secara tegas telah mengingatkan melalui firman-Nya : "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (jangan pula) kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" (QS. al-Anfal : 27).

Keempat, Rimba peradaban modern dan keserakahan tak terbatas. Fenomena hukum rimba dan karakter si raja rimba era modern menembus semua sisi potensi yang ada. Eksistensinya menerpa pada hampir semua strata. Mulai dari kelas sosial paling rendah sampai tinggi menju-lang, mulai kaum intelektual sampai tak pernah mengenyam pendidikan, pekerja kasar di tengah terik matahari sampai pekerja di ruang dingin dan  berdasi, kaum miskin sampai konglomerat dengan timbunan harta menggunung, mulai anak kecil sampai kaum jompo, bahkan laki-laki atau perempuan, dan strata sosial lainnya. Atas potensi keserakahan manusia tanpa kendali, maka Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : "Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Hadis di atas menjelaskan sifat manusia yang serakah. Sifat ini tidak akan pernah hilang kecuali setelah ajal menjemputnya. Keserakahan merupakan sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Karena ketidakpuasannya, maka segala cara ditempuh, bahkan tak peduli bila me-langgar agama-Nya dan saling memangsa.

Keserakahan merupakan salah satu jenis penyakit hati. Jika si raja rimba serakah sebatas memenuhi perutnya. Keperluan perut yang sangat terbatas. Bila telah kenyang, maka ia akan berhenti. Akan tetapi, keserakahan nafsu manusia bukan hanya sebatas kenyang, tapi melampaui batas kewajaran makhluk hidup dan batas ruang perutnya. Dorongan nafsu yang dimiliki, menjadikan manusia selalu menginginkan lebih banyak (tak terbatas). Dorongan ini akan menggiringnya melakukan upaya yang tidak peduli apakah dibenarkan syariat atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ia tak peduli apakah harus mengorbankan atau menjual kehormatan diri atau masa depan orang lain. Baginya, semua dilakukan hanya untuk tercapainya dorongan nafsunya.

Sungguh, hukum rimba di hutan rimba hanya dilakukan oleh hewan yang memiliki kekuatan, keserakahan, dan keberingasan. Ketiga komponen ini menjadikannya merasa paling benar dan bebas berbuat sekehendaknya tanpa aturan. Demikian dampak "hukum rimba" sepanjang sejarah. Praktik prilakunya hanya didorong oleh dominasi sifat hewani. Akibatnya, nilai kemanusiaan yang asasi menjadi sirna. Hal ini berdampak semakin suburnya keserakahan manusia yang melampaui kebuasan si raja rimba belantara. 

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis

 

Written by Admin
Category: Gaya Hidup
Hits: 264

Bacaan Popular


Baca topik

Terkini


TEMPAT NYAMAN TAMAN BACAAN MASA DEPAN ANDA-JOM KITA MENULIS!!! dhomir.com ingin mengajak dan memberi ruang kepada para penulis khususnya penulisan yang berkaitan dgn agama Islam secara mendalam dan sistematik.Jika anda ingin mencurahkan isi hati mahupun pandangan secara peribadi dhomir.com adalah tempat yang paling sesuai utk melontarkan idea. Dengan platform yang sederhana, siapa sahaja boleh menulis, memberi respon berkaitan isu-isu semasa dan berinteraksi secara mudah.Anda boleh terus menghantar sebarang artikel kepada alamat email:dhomir2021@gmail.com.Sebarang pertanyaan berkaitan perkara diatas boleh di hubungi no tel-019-3222177-Editor dhomir. com