MEMBACA RUMI, MENGEJAR KEDAMAIAN -PART III
Menurut Annemarie Schimmel, pada Abad ke-13, setiap langkah ke Konya adalah "langkah perjalanan spiritual" sehingga "setiap batu dan pohon tampak menafsirkan pesan-pesan Rumi ke dalam bahasanya sendiri bagi orang-orang yang mempunyai telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat."
Setiap orang dalam kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang fana, maka setiapnya menyedari bahawa mempelajari tasawuf akan menghantarkan mereka ke kehidupan yang abadi, dalam cinta dan kasih sayang-Nya. Tasawuf bukan sahaja dipelajari sebagai satu bentuk ilmu, tetapi diamalkan dalam setiap hati orang Islam yang berusaha meraih "keabadian" diri, yakni kerana seluruh hidup dan mati itu adalah dalam teras cinta-Nya.
Jelas Annemarie Schimmel: " tasawuf itu sendiri didasarkan pada meditasi mengenai kematian, saat-saat jiwa harus bertemu dengan Tuhannya setelah menjalani interogasi [diadili/disoalsiasat] oleh dua Malaikat, Munkar dan Nakir di dalam kubur. Bagaimana perasaan jiwa untuk menghadapi suasana ketika ia harus berdiri di hadapan Hakim Teragung untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kelakuan, pemikiran, dan ucapan-ucapannya?
"Harapan untuk mendapatkan syurga dan kedamaiannya, ketakutan terhadap hukuman di neraka yang menakutkan, seperti digambarkan dalam al-Quran, telah menggerakkan orang-orang Mukmin ke arah ketaatan. Walaupun demikian, para sufi lebih memahami perhatian utama orang beriman." (Annemarie Schimmel, Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaludin Rumi, terjemahan bahasa Indonesia oleh Alawiyah Abdurrahman dan Ilyas Hassan, Bandung: PT Mizan Pustaka, edisi keempat cetakan pertama, 2016, hal. 14 dan 16).
Seperti kata Imam al-Ghazali, dunia adalah ladang akhirat. Ketika hidup di dunia yang fana ini kita berkebun dan menanam. Hasilnya, akan dituai setelah kita di alam Barzakh, ketika kita menerima pengadilan Ilahi, sama ada buahnya manis atau masam. Jika manis, ia membuktikan benih yang kita semai semasa hayat adalah benih yang baik (Amar Makruf). Sebaliknya, jika hasilnya buah berulat, masam dan tidak membawa manfaat ia menandakan sepanjang kehidupan manusia sentiasa ingkar dan berbuat maksiat (Mungkar). Buah itu melambangkan apa yang kita akan dapat nanti, syurga atau neraka.
Kita hidup dalam dunia yang serba mempengaruhi, dan jika kita kehilangan arah, tiada jati diri maka kehidupan kita akan terarah kepada "acuan pengaruh" yang kita terima. Itulah mesej yang cukup mendalam yang cuba diajarkan oleh Jalaludin Rumi dalam kesemua karyanya dengan hasrat mengolah batin manusia menjadi Insan Kamil (manusia sempurna). Manusia sempurna bukan atas penilaian manusia, tetapi pada penilaian Allah SWT. Tidak penting pada pandangan manusia, kerana Tuhan itulah segala-galanya yang wajib manusia laksanakan. Tuhan tidak rugi, tetapi manusialah yang rugi jika tidak melaksanakan Amar Makruf dan menjauhi kemungkaran baik yang terang atau tersembunyi.
Pesan Rumi:
Bila kematian itu manusia
Yang dapat ku peluk erat-erat
Aku akan mengambil darinya jiwa, yang bersih dan tidak berwarna
Dan, ia akan mendapat dariku jubah berwarna, hanya itu!
(Divan-i-Kabir: 1326).
Pada Rumi, sholat bukanlah sekadar sholat yang dilakukan dengan gerakan bibir (membaca surah-surah-Nya) dan pergerakan kaki-tangan (mengangkat takbir, rukuk, sujud dan bangun kembali). Sholat adalah "penyatuan diri dengan Illahi Tercinta". Rumi membuka situasi hening itu dan berpuisi:
Aku terlalu banyak berdoa
hingga aku berubah
menjadi doa itu sendiri --
Setiap orang yang melihat diriku
memohon doa dariku.
(Divan i-Kabir, 903).
Dalam menggambarkan kejernihan hati terhadap sesuatu agar ia mudah difahami, Rumi seringkali mengambil kisah-kisah yang ada dalam sejarah, kisah yang masih hidup dalam pemikiran khalayaknya, walaupun ia adalah berasal daripada dongeng. Dongeng binatang kuno digunakan oleh Rumi sebagai lambang kekuatan cinta, ulas Annemarie Schimmel, (ketika merasa "takjub dan senang melihat" sebuah pemandangan dan hiasan yang ada di masjid, yang menempatkan makam Rumi pada tahun 1950-an di Konya) "bukankah Cinta itu lebih kuat seperti unicorn [sejenis binatang bertanduk satu yang ada dalam khayalan] yang sanggup memikul makhluk yang paling berat sekalipun? Dan, Rumi tentu telah melihat, dan mungkin mengagumi, gambar malaikat (malaikat penjaga?) yang sedang berlutut...." (Akulah Angin, Engkaulah Api, hal.18).
Pusara Rumi berada dalam kawasan Masjid Kubah Hijau, yang menurut catatan KH Hussein Muhammad yang mengunjungi pada bulan Ogos 2014, di situ juga terdapat Muzium Maulana Rumi. Setelah memasukinya, "saya membaca kaligrafi Arab yang indah bertuliskan: Selamat datang ke peristirehatan abadi Maulana yang mulia.
"Sampai di pintu, saya teringat pesan-pesan Maulana yang ditujukan kepada para keluarga dan sahabatnya menjelang kepulangannya. Wasiat ini termaktub dalam kitab Nafhat al-'Uns, karangan Syeikh Abdurrahman al-Jami: (terjemahan)
"Kuwasiatkan kepada kalian: Bertakwalah kalian kepada Allah ketika sepi dan ketika ramai. Sederhanakan makanmu. Kurangi tidur dan percakapanmu. Tinggalkan derhaka dan dosa, biasakan puasa dan tafakur. Jauhkan hasrat-hasrat rendahmu selamanya. Uruskanlah hatimu dengan sabar menghadapi keangkuhan manusia. Tinggalkan bercengkerama dengan orang-orang dungu. Temani orang-orang shalih dan berbudi luhur. Sebab, manusia terbaik adalah mereka yang membahagikan keindahan kepada yang (orang) lain dan ucapan terbaik adalah sepatah kata yang memberikan makna.
"Usai mengingat wasiat itu, saya ingin menahan duka yang terasa begitu dalam. Hati saya merasa gundah. Saya cuba menghibur diri dengan sebuah puisi manis karya Maulana di dalam Mastnawi:
Bila waktumu telah tiba untuk pulang, berangkatlah dan janganlah gelisah.
Sebab, kau masih dan selalu di sini, duhai yang tiada orang sepertimu.
(KH Hussein Muhammad, Cinta Tidak Pernah Mati di Kota Rumi: Perjalanan Menemukan Cinta Sejati dan Romansa Kisah Para Sufi, Jakarta: Rene Islam, cetakan kedua, 2024, hal. 35-41).
bersambung…
KAMARUN KH