MEMBACA RUMI, MENGEJAR KEDAMAIAN -PART IV
Ketika mengunjungi pusara Rumi, tulis KH Hussein Muhammad: Rumi menyedarkan saya akan erti penting cinta sejati. Cinta yang tidak berlandaskan nafsu, pada keindahan [kecantikan rupa paras] fizikal atau materi [kebendaan atau kekayaan atau status sosial]. Cinta suci yang teramat dalam, tanpa suara, juga tanpa kata.
"Cinta yang derunya lebih keras dari deburan ombak atau gegaran gunung. Cinta pada Sang Kekasih abadi yang keberadaannya tak akan sirna [pudar, hilang, musnah]. Sebuah cinta kepada Dzat yang menjadi sebab segala sesuatu yang ada.
"Rumi mengajarkan puncak tertinggi hubungan seseorang dengan Tuhannya, bukan lagi dalam ibadah dan doa, melainkan dalam wujud rindu dan cinta. Semua bentuk cinta kepada makhluk adalah perasaan yang fana dan akhirnya akan sirna. Namun, cinta sejati pada-Nya begitu menggetarkan hingga membuat si pencinta begitu rindu akan hadirat-Nya.
"Cinta kepada-Nya bukan kekaguman akan paras keindahan materialis, atau dorongan syahwat, melainkan cinta kepada Dzat yang Maha Indah. Untuk sampai pada tahap cinta yang begitu luhur ini, seseorang harus menyucikan hatinya dari sifat-sifat duniawi dan perilaku kotor.
"Hanya hati yang sudah bersih saja yang boleh menerima anugerah ini. Rumi sampai pada darjat ini setelah dia bertemu dengan Syams Tabrizi, sosok yang benar-benar memberi warna baru dalam laku tasawufnya. Syam Tabrizi, sang kekasih Rumi yang membimbingnya untuk menemukan Kekasih sejati yang jauh lebih layak untuk dicintai." (KH Hussein Muhammad, Cinta Tidak Pernah Mati' di Kota Rumi, hal. 45-46).
Siapakah Syam Tabrizi yang telah berjaya membimbing Rumi? Apakah istimewanya Syam Tabrizi sehingga dianggap sebagai seorang yang berjaya menukarkan penampilan dan pola pemikiran Rumi? Syam Tabrizi juga dikatakan telah berjaya "membakar" jiwa Rumi sehingga disamakan seperti "matahari" dan menjadi tajuk buku Annemarie Schimmel, Akulah Angin, Engkaulah Api (1992) selepas bukunya yang cukup terkenal mengenai riwayat hidup Rumi, The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddin Rumi (1980).
Rumi juga mendedikasikan sebuah buku mengenai pertemuan, persahabatan dan hubungan akrabnya dengan Syam Tabrizi, Divan i-Kabir atau juga dikenali Divan Syam Tabrizi. Divan Tabrizi dikatakan mempunyai antara 30,000 hingga 50,000 bait puisi dalam bentuk ghazal. Namun, populariti Mastnawi seolah-olah mengatasi Divan i-Kabir. Ia mungkin disebabkan Divan i-Kabir mengisahkan tentang Syam Tabrizi walaupun didalamnya turut mengandungi pelbagai untaian kehidupan yang memenuhi kriteria seorang Muslim yang baik yang tidak hilang dalam keserakahan duniawi.
Menurut Isa Ali al-'Akub, penterjemah tiga buah karya Rumi dari bahasa Parsi ke bahasa Arab dalam "Pengantar" terjemahan Fihi Ma Fihi, Divan Syam Tabriz mengandungi 3,50O syair yang disusun melalui 43,000 bait. Ia menceritakan hubungan dengan gurunya, Syamsudin al-Tibriz, sehingga Divan itu disebut dengan Divan Syamsi. (Jalaludin Rumi, Fihi Ma Fihi: 71 Ceramah Rumi Untuk Pendidikan Ruhani, terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia oleh Abu Ali dan Taufik Damas, Jakarta: Penerbit Zaman, cetakan kedua, 2016, hal. 21).
Profesor Bediuzzaman Furuzanfar (1904-1970) telah berjaya menerbitkan versi akademik setebal 8 jilid (ada versi lain mengatakan 10 jilid), daripada versi bertarikh tahun 1336 dengan mentahkidkan sejumlah 1,765 kuatrin (stanza empat baris, dengan satu baris memiliki sajak alternatif). (Cihan Okuyucu, Rumi: Kisah Hidup dan Pesan-Pesannya, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Eka Oktavianus daripada bahasa Inggeris, Rumi: Biography and Message, Yogyakarta: Badan Basi, 2018, hal. 118).
Kisah pertemuan Rumi dan Syams Tabrizi berlaku setelah kematian gurunya, Sayyid Burhan al-Din Tirmizhi (Burhanuddin Muhaqqid alTirmidzi, 1166/1169 - 1240M). Burhan merupakan murid ayah Rumi, Bahaudin Walad. Burhan muncul sebagai pembimbing Rumi setahun selepas kematian Bahaudin Walad (1231M/628H).
Dibawah didikan Burhan, Rumi memperoleh pemaknaan ilmu tasawuf, yang sebelumnya tidak Rumi ketahui ia adalah ciri-ciri keulamaan ayahnya. Burhan membawa kitab karangan Bahaudin, Ma'arif. Burhan dikatakan telah mendidik pemenuhan spiritual Rumi selama 8 tahun sebelum kembali semula ke Kayseri (Qaisariyah). Tidak lama kemudian, Burhan meninggal (1240/1241M).
Sepanjang mendidik Rumi, Sayyid Burhan cukup berpuas hati dan berkata: Berjalanlah terus ke depan dan bawakan semangat yang baharu kepada orang-orang. Biarkan mereka mendapatkan rahmat Ilahi yang terus mengalir dan menghidupkan hati mereka kembali dengan cinta. (Cihan Okuyucu, hal.33).
Sampai suatu ketika, Sayyid Burhan yang tidak ingin tinggal di Konya memberikan sebab "Seorang singa yang datang dari Tabriz sedang dalam perjalanan ke sini. Aku adalah singa yang lain. Dua singa tidak boleh mendiami tempat yang sama. Maka dari itu, aku harus pergi" (Cihan Okuyucu, hal.33).
Menurut Sefik Can: Rumi was raised by the hands of his spiritual guide teacher. Sayyid went to great efforts to educate Rumi. He instructed him to read his father's book Ma'arif over and over again for months and years. Every year that passed made Rumi even more mature. The days of fasting and asceticism passed. Now he had educated Rumi as he wanted. He had the inner comfort of spiritual guide who had accomplished his duty.
"According to Sayyid, the insan al-Kamil, or the perfect man, must be knowledgeable, a gnostic, a lover of God, a friend of God, and a beloved a God. " (Sefik Can, Fundamentals of Rumi's Thought: A Me Levi Sufi Perspective, terjemahan dari bahasa Turki oleh Zeki Saritoprak, New Jersey, USA: Tughra Books, 2009, hal.49).
bersambung...
KAMARUN KH